Senin, 08 Juli 2013

Mengapa Tinju Indonesia Kalah dari Filipina

Ditulis oleh: Aditya


Amerika Serikat, Meksiko, bahkan Filipina mampu melahirkan para petinju profesional tingkat dunia. Dalam daftar ESPN 2012 misalnya, mereka ada dalam kelompok 10 besar. Mengapa bisa?

Amerika Serikat punya Floyd Mayweather, Jr., yang saat ini ada di peringkat pertama dunia. Bahkan dia menjadi juara untuk lima kelas. Dari kelas bulu super hingga kelas berat ringan.

Meksiko mengirimkan Juan Manuel Marquez, di urutan empat dunia versi ESPN. Dari Asia, tercatat ada nama Nonito Donaire, petinju Filipina-Amerika di urutan enam, serta Manny Pacquiao, yang masih warga Filipna di urutan bawahnya. 


Berbicara tentang Filipina, negara ini memang sangat lekat dengan olah raga tinju. Bahkan studi yang dilakukan oleh Hakuhodo, perusahaan periklanan dunia, tinju merupakan olah raga paling populer di negara tersebut, setelah bola basket.

Dalam survei 2012 bertajuk "Global Habit: Sports Popular in 14 Asian Countries", Indonesia tidak menempatkan tinju dalam kelompok lima besar olah raga paling populer. "Jogging ada di peringkat ketiga," ungkap hasil studi.

Ted Lerner, wartawan Amerika yang 19 tahun hidup di Filipina menuturkan, tinju sudah menjadi bagian dari masyarakat Filipina. "Bahkan tinju sudah menjadi bagian dalam tradisi dan kebudayaan masyarakat Filipina," tuturnya, seperti dikutip ESPN.

Karena itulah, publikasi memberikan tempat istimewa bagi olah raga yang cikal bakalnya ada sejak periode 1899-1902, saat diperkenalkan oleh tentara Amerika yang bertugas di Filipina. Baik televisi maupun media lainnya seperti berlomba menayangkan tinju.

Iklim yang menguntungkan ini, di mata petinju nasional Daud Yordan, didukung pula oleh pihak swasta dan pemerintahnya. Bukan hanya moril, tetapi juga materil. “Sehingga ikut mendongkrak nama negaranya di dunia internasional,” ujarnya.

Keterlibatan para penguasa bisa dilihat dari dorongan Senat Filipina agar dibentuk Philippine Boxing Academy. Lembaga ini diharapkan kelak, bakal melakukan pertandingan secara berkala ditingkat provinsi, dalam rangka mencari bibit para petinju profesional.

Rencana pendirian lembaga tersebut terkait dengan menguatnya animo petinju muda yang ingin segera menjadi petinju profesional, menyusul para seniornya. Namun yang saat ini berjalan, adalah pertandingan internasional yang banyak diikuti oleh petinju asal Filipina sebagai bagian dari pembinaan. Sisanya, tak jauh berbeda dengan Indonesia.

Apalagi untuk Amerika, kata Daud. “Tinju sudah menjadi industri.”

Justru Indonesia yang masih mengalami masalah dengan pembinaan. Menteri bidang olah raga yang semestinya ikut berperan penting terhadap perkembangan tinju nasional, baik amatir maupun profesional, malah sering diganti.

“Jadi tidak ada yang tuntas. Selalu dimulai lagi dari awal dan mulai belajar dari awal. Ini sangat berpengaruh kepada olahragawan,” paparnya.

Petinju yang biasa dipanggil Cino ini sangat berharap antara pemerintah dan swasta konsisten membantu pengembangan tinju di Tanah Air. Jangan sampai seperti kasus rencana pembangunan kompleks olah raga di Hambalang. "Niatnya bagus, tapi pelaksanaannya yang salah," jelasnya.

Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah pengelolaan yang tidak setengah hati. “Kalau maksimal, pasti bisa menyamai prestasi tinju di luar sana,” harap Daud.

Mungkinkah anak putus sekolah atau preman menjadi petinju?

Daud menepis hal itu. Bukan apa-apa, mereka akan mengalami kesulitan mengikuti sistem pertandingan di atas ring. Tentu lain halnya jika sudah mengalami pembinaan lama, seperti lazimnya petinju profesional.

Daud menuturkan, pertandingan tinju dilihat oleh banyak orang, sehingga menjadi bagian dari hiburan. Selain itu durasinya juga cukup panjang.

Karena itu kemampuan menjaga pertandingan tetap enak ditonton, serta kemampuan mengontrol diri menjadi sangat penting dimiliki oleh seorang petinju. “Mental preman itu sulit mengontrol diri,” kata petinju kelas bulu super ini.

0 komentar:

Posting Komentar